Apa kalian pernah mendengar nama Masako? Tentunya, sudah sangat sering, iya kan? Apalagi, jika kalian yang setiap harinya mambantu ibu memasak di dapur. Hehehehe... Tapi, tahu kah kalian, bahwa ternyata Masako adalah nama seorang Putri Mahkota di Jepang sana... Berikut adalah beberapa catatan tentang kehidupannya :
Kehidupan awal dan pendidikan
Putri Mahkota Masako (KÅtaishihi Masako, lahir 9 Desember 1963; umur 46 tahun) adalah istri dari Putra Mahkota Naruhito, putra pertama Kaisar Akihito dan Permaisuri Michiko, dan merupakan anggota Keluarga Kekaisaran Jepang melalui perkawinan. Ia lahir dengan nama Masako Owada, sebagai anak perempuan tertua dari Hisashi Owada, seorang diplomat senior, yang saat ini adalah Presiden Mahkamah Internasional. Ia memiliki dua adik perempuan kembar bernama Setsuko dan Reiko.
Masako tinggal di Moskwa bersama orang tuanya ketika ia berusia dua tahun, dan menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di sana. Setelah kembali ke Jepang, ia masuk sekolah putri swasta di Tokyo, Denenchofu Futaba, sejak sekolah dasar sampai tahun kedua sekolah menengah atas. Masako dan keluarganya pindah ke Amerika Serikat ketika ayahnya menjadi dosen tamu di Universitas Harvard dan wakil duta besar Jepang untuk Amerika Serikat. Pada tahun 1981, ia lulus dari Belmont High School. Masako juga menjadi presiden National Honor Society di sekolah menengah atas tersebut.
Masako meraih gelar BA di bidang Ekonomi secara magna cum laude dari Universitas Harvard dan mengambil kuliah namun menyelesaikan pasca sarjana Hubungan Internasional di Balliol College, Universitas Oxford. Ia juga sempat belajar sebentar di Universitas Tokyo, dalam rangka persiapan ujian masuk ke Departemen Luar Negeri Jepang.
Selain bahasa Jepang, ia juga fasih berbahasa Inggris dan Perancis, serta disebutkan menguasai percakapan standar dalam bahasa Jerman, Rusia, dan Spanyol.
Hebat kan seorang Putri Masako..?? Two thumbs up for her...
Tidak hanya itu, beliaupun mempunyai karier yang sangat gemilang :
Sebelum menikah, Masako sempat bekerja di Departemen Luar Negeri Jepang, di mana ayahnya menjabat sebagai Direktur Jenderal dan Wakil Menteri. Selama karirnya di sana, Masako bertemu dengan banyak pemimpin dunia, antara lain Presiden AS Bill Clinton dan Presiden Rusia Boris Yeltsin. Ia juga berperan sebagai penerjemah dalam perundingan Jepang dan Amerika Serikat mengenai superkonduktor.
Konstitusi Jepang tidak mengizinkan anggota keluarga kekaisaran untuk terlibat dalam kegiatan politik. Dalam hal ini, Pangeran Mahkota pernah mengeluarkan komentar keprihatinannya atas ketidaknyamanan dan tekanan yang dialami oleh istrinya akibat pengaturan oleh Biro Rumah Tangga Kekaisaran, serta tentang keinginan istrinya untuk menjalani kehidupan sebagai seorang diplomat.
Wanita yang luar biasa...
Tetapi, belum lengkap kalau belum berbicara tentang kehidupan pernikahan dan keluarganya :
Masako pertama kali bertemu dengan Putra Mahkota Naruhito ketika ia menjadi mahasiswa di Universitas Tokyo pada bulan November 1986, meskipun beberapa orang mengatakan bahwa mereka sebelumnya pernah bertemu ketika ayahnya bertugas sebagai pendamping untuk anggota keluarga kaisar. Masako dan Putra Mahkota terlihat bersama-sama beberapa kali di depan umum sepanjang tahun 1987.[1] Pada tanggal 9 Juni 1993, mereka menikah dalam sebuah upacara pernikahan tradisional Jepang.[8] Pangeran Mahkota dan Putri Mahkota mempunyai seorang anak, Putri Aiko (gelar resminya adalah Toshi no Miya, atau Putri Toshi), lahir pada tanggal 1 Desember 2001.
Sayangnya, sekarang dikabarkan Putri Masako sedang menderita penyakit
Masako secara umum tidak tampil di muka publik sejak tahun 2002. Ia diperkirakan mengalami tekanan emosional yang menurut banyak pihak disebabkan oleh tuntutan untuk menghasilkan pewaris tahta laki-laki, serta dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan sebagai anggota keluarga kekaisaran. Ia didiagnosis menderita gangguan penyesuaian (adjustment disorder) pada bulan Juli 2004, dan dilaporkan sedang menjalani pengobatan.
Pada 11 Juli 2008, Putra Mahkota Naruhito meminta publik untuk memahami keadaan istrinya yang menderita sakit tersebut. Ia membuat pernyataan dalam kunjungan selama 8-hari di Spanyol, tanpa Masako:
“Saya ingin publik mengerti bahwa Masako terus berupaya secara maksimal dengan bantuan dari orang-orang."
Selasa, 02 Februari 2010
WHAT IS LOVE??



Religion Teacher says that, Love is a beautiful gift from God
Indonesian Teacher says that, Love is the word ‘ci’ and ‘ta’ with ‘n’ as a conjuction between two word above
English Teacher says that, Love is someone’s feeling and it can prove with three words, I Love You
Math Teacher says that, Love is a formula and anyone can’t do it
Physics Teacher says that, Love is a tensile strength between two different contents
Chem Teacher says that, Love is a bond between two unsures and formed a compound
P. E Teacher says that, Love is a step that can make the enemy give in…………
Musichal Teacher says that, Love is a symphony that can make someone happy and quite
Well, no matter that the teachers above said about love, but I know that Jesus Christ said that : “ You must love The Lord, your God with all of your heart, and all of your soul and all of your mind. And you must love your fellow as yourself.”
Matthew 22 : 37-39.
NAPAK TILAS PERJALANAN ERITROSIT SELAMA 120 HARI
Untuk dapat memahami pembentukan dan perjalanan eritrosit dalam tubuh manusia, maka aku coba mengemasnya melalui sebuah cerita pendek berikut ini… Semoga bisa bermanfaat…!!!
“Tak kusangka, waktuku ternyata tinggal sehari saja. Tugas berat yang selama ini aku emban, terpaksa harus kulepaskan. Yah, akupun sadar mungkin aku memang sudah terlalu tua untuk menjalankan tugas ini.” Ujar sebuah eritrosit tua kepada sahabatnya.
“Yah, begitulah. Memang waktu hidup kita ini sudah ditentukan oleh Sang Pencipta. Kita tidak punya kuasa apa-apa untuk melawan kodrat tersebut. Jadi, jika waktunya hampir tiba, kita hanya bias menunggu dan berpasrah. Betul! Kita tinggal menunggu saja waktu yang tepat bagi ajal untuk datang dan meremukkan badan kita yang bulat, cekung dan tak berinti ini.” Balas sang sahabat dengan tatapan yang teramat sedih.
“Aku setuju dengan pendapatmu. Hanya saja, ku rasa kau tak perlu bersedih seperti itu. Malahan, sebaliknya sekarang ini kita harus merasa bahagia dan bangga. Karena ternyata pengorbanan kita akan tugas yang kita emban selama ini, berdampak baik bagi kesehatan majikan kita. Usaha kita, walaupun hanya 120 hari saja tetapi mendatangkan manfaat yang besar bagi kehidupan majikan kita bukan hanya sekarang tapi juga di masa yang akan datang. Yah, aku berani berkata begitu karena ada buktinya. Majikan kita ini, selalu kelihatan segar dan sehat setiap harinya. Bukan seperti isterinya yang saban hari tampak pucat dan lesu karena kehadiran teman-teman kita untuknya terlampau kurang dari normal. Tetapi, menurutku salah wanita itu juga. Dia yang tak pernah mengundang teman-teman kita. Dia tidak mau makan makanan yang berserat dan yang mengandung vitamin B. Akhirnya, teman-teman kita malas kan untuk datang padanya. Oiya, kembali ke masalah semula, yaitu sekarang kau tak usah bersedih hati lagi. Mari sama-sama kita menyambut ajal itu dengan hati yang gembira dan syukur.” Jelas si eritrosit tua panjang-lebar. Membuat sahabatnya menjadi sangat berkesan dan terharu.
“Aku bangga mempunyai sahabat sepertimu. Disaat-saat menjelang kematianmupun, kau masih memberikan kata-kata penguatan untukku. Terima kasih banyak, sahabat.” Ujar sang sahabat tulus. “Ohya, apa kau pernah mengalami hal-hal sulit selama kau jalani tugasmu ini?” lanjut sang sahabat memberikan pertanyaan. Si eritrosit tua tampak menerawang jauh, memikirkan jawaban yang akan dikeluarkannya.
“Ya! Aku pernah mengalaminya. Waktu itu, ketika aku sedang menjalankan tugas sehari-hariku, yaitu mengangkut oksigen, sambil melewati jembatan kapiler, tiba-tiba saja musuh kita datang menyerang. Kalau aku tak salah ingat, namanya adalah Patogen. Aku sangat terkejut dengan kehadirannya tersebut. Bayangkan saja, dia menyerangku, bahkan hendak membunuhku. Syukurlah, aku cepat-cepat mengeluarkan senjata andalan kita, yaitu radikal bebas yang terdapat dalam hemoglobin. Dan berhasil. Patogenpun tewas seketika. Itulah ceritaku yang sangat berkesan. Apa kau pernah mengalami hal yang sama?” Eritrosit tua bertanya balik kepada sahabatnya. Namun, belum sempat sahabatnya itu menjawab, ‘ajal’ yang mereka perbincangkan tadi datang dan menelannya. Eritrosit tuapun menangis dan berkata lirih pada dirinya sendiri “Inilah waktuku. Dia sudah datang!”
Yah, ajal yang mereka perbincangkan – yang semula ditakutkan oleh sang sahabat dari si eritrosit tua - itu bernama Fagositosis berasal dari daerah Hati dan Limpa. Dimana, di dalam daerah Hati nanti, tubuh – terutama senjata andalan mereka, yaitu hemoglobin para eritrosit tua akan diolah menjadi sesuatu yang bernama bilirubin. Walaupun begitu, para eritrosit tua bukan mati dan hilang begitu saja, namun mereka masih juga memberikan satu-satunya harta yang tersisa dari mereka, yaitu suatu zat yang bernama zat besi. Zat tersebut sangat berharga, karena akan digunakan untuk membentuk eritrosit yang baru.
Para eritrosit tua yang dahulu berwarna merah, yang menandakan keberanian mereka melawan para musuh, kini berubah warna menjadi hijau. Warna sendu yang mengambarkan kesedihan mereka. Sungguh malang nasib para eritrosit yang setia itu dalam masa hidupnya yang sangat singkat!
Suatu pagi, di suatu rumah yang bernama sumsum tulang merah, berlangsung suatu acara meriah yang biasa disebut Eritropoiesis. Acara yang selalu berlangsung setiap 120 hari sekali ini sangat berkesan. Karena, di acara inilah dibentuk para eritrosit muda yang siap menjalankan tugas mereka dan siap menggantikan para eritrosit tua yang sudah tak mampu lagi mengerjakan tugas mereka.
Acara Eritropoiesispun dimulai. Di dalam suatu kamar khusus, sang peracik eritrosit, yang bernama Pluripoten sudah bersiap-siap dengan segala alatnya. Tidak lupa dibantu oleh sang asisten yang bernama Hormon Eritropoietin. Alat dan bahan yang diperlukan pun sudah tersedia dengan apik. Merekapun mulai menjalankan tugas berat ini.
“Ayo, kita mulai sekarang! Jangan sekali-kali berbuat kesalahan! Bisa berdampak buruk bagi kehidupan majikan kita. Siap??!” Tanya Pluripoten. Dan dibalas anggukan oleh sang asisten.
Merekapun mulai meracik bahan yang ada dengan menggunakan alat-alat yang tersedia. Pertama-tama, mereka meracik bahan-bahan yang tersedia, dengan tidak lupa menambahkan zat besi yang didapat dari para eritrosit yang sudah tua dan mati. Hasil racikan pertama ini disebut Proeritroblas. Dengan menggunakan rangsangan yang sesuai, maka akan terbentuk lagi sel-sel baru yang dinamakan Basofil Eritroblas. Sel-sel ini masih memiliki sedikit sekali hemoglobin.
Pada tahap berikutnya, terbentuklah sel-sel baru yang cukup hemoglobinnya dan dinamakan Polikromatofil Eritroblas. Sesudah terjadi reaksi berikutnya, maka akan terbentuklah sel-sel baru yang mengandung lebih banyak hemoglobin dan dinamakan Ortokromatik Eritroblas, dimana warnanya telah berubah menjadi merah.
“Boss, selanjutnya bagaimana kita tahu bahwa sel-sel ini nantinya akan berubah menjadi retikulosit?” Tanya sang asisten di tengah-tengah tugas mereka. “Pertanyaan yang bagus! Kita bisa mengetahui bahwa sel ini telah berkembang menjadi retikulosit adalah dengan melihat sitoplasmanya. Jika sitoplasmanya sudah dipenuhi oleh hemoglobin, sehingga mencapai konsentrasi lebih kurang 34%, nukleus akan memadat sampai ukurannya menjadi lebih kecil dan terdorong dari sel. Nah! Sel-sel inilah yang akan disebut retikulosit. Paham?!” Jelas Pluripoten panjang-lebar. Sang asistespun mengangguk kuat-kuat tanda mengerti.
Pada tahap akhir, retikulosit tadi kemudian berkembang menjadi eritrosit dalam satu sampai dua hari setelah dilepaskan dari rumah sumsum tulang merah. Dan para eritrosit muda inipun bersiap-siap menjalankan tugas mereka selama 120 hari ke depan. Bertarung hidup dan mati demi mengabdikan diri kepada sang majikan!
“Eh, mengapa tubuh kalian para eritrosit harus berwarna merah sih? Mengapa tak bening saja kayak kita para leukosit? Memangnya, beda kalian sama kita itu apaan sih?” Tanya sebuah leukosit kepada sebuah eritrosit, ketika si eritrosit sedang menjalankan tugasnya. Si eritrositpun menghentikan sebentar pekerjaannya dan menjawab “Itu karena para eritrosit memiliki suatu zat yang ada di dalam tubuh yang disebut hemoglobin. Nah! Hemoglobin inilah yang memberikan warna merah pada kulit kita. Selain itu, hemoglobin ini juga yang menyebabkan kita para eritrosit mempunyai pekerjaan penting setiap harinya yaitu mengangkut gas oksigen dan karbon dioksida demi kesehatan majikan kita. Kurang-lebihnya, seperti itulah yang dapat aku jelasin. Selanjutnya, kamu kan bisa sendiri membandingkan dengan kalian para leukosit. Iya nggak?!” Jelas si eritrosit.
“Oh, jadi gitu ya? Emm, aku ngerti sekarang! Makanya pekerjaan kalian itu beda sama kita, ternyata karena hemoglobin itu ya?! Kalau gitu, terima kasih ya, eritrosit. Aku pergi dulu. Aku mau menyelesaikan pekerjaanku. Kamu juga, selamat bekerja ya…” Ujar si leukosit sambil berlalu pergi kembali ke tempatnya.
“Oke…. Sampai jumpa nanti ya… Kamu juga selamat bekerja... Semoga kita semua bisa bekerja sama dengan baik untuk kesehatan majikan kita ini ya…. Dagh…. Dagh…. Kalau ada sesuatu yang mengganjal, tanyakan saja padaku… aku siap membantu!” si eritrosit berseru. Dia sangat senang bisa memberikan penjelasan tentang dirinya bahkan komunitasnya kepada orang yang memang membutuhkan penjelasan, seperti si leukosit tadi. Si eritrosit tadi sangat bahagia.
Setelah memberikan salam perpisahan tadi, si eritrositpun melanjutkan tugasnya kembali. Bekerja sambil bersenandung riang. Tak peduli seberat apapun pekerjaan yang sedang dilaluinya. Ia yakin, bahwa pengorbanannya ini dia lakukan demi kesehatan majikannya. Tak peduli berapa lama lagi waktu yang akan dihabiskannya. Entah itu hanya lima hari, dua hari, bahkan satu hari lagi, ia tak akan peduli. Yang terpenting, selama masa hidupnya yang singkat, yaitu hanya 120 hari saja, ia telah memberikan suatu dampak yang baik bagi majikannya.
Dan bila nanti saatnya akan tiba pula, ia tak peduli. Ia akan terus merasa bahagia seperti sekarang ini dan menyambut ajal bernama Fagositosis itu dengan hati yang ikhlas dan tanpa penyesalan. Bahkan tidak dengan rasa sakit dan sedih sedikitpun. Mungkin, itulah tekad yang ada dalam dirinya sekarang. Sebuah eritrosit yang menjalankan tugas beratnya dalam waktu hidupnya yang singkat, 120 hari saja!
“Tak kusangka, waktuku ternyata tinggal sehari saja. Tugas berat yang selama ini aku emban, terpaksa harus kulepaskan. Yah, akupun sadar mungkin aku memang sudah terlalu tua untuk menjalankan tugas ini.” Ujar sebuah eritrosit tua kepada sahabatnya.
“Yah, begitulah. Memang waktu hidup kita ini sudah ditentukan oleh Sang Pencipta. Kita tidak punya kuasa apa-apa untuk melawan kodrat tersebut. Jadi, jika waktunya hampir tiba, kita hanya bias menunggu dan berpasrah. Betul! Kita tinggal menunggu saja waktu yang tepat bagi ajal untuk datang dan meremukkan badan kita yang bulat, cekung dan tak berinti ini.” Balas sang sahabat dengan tatapan yang teramat sedih.
“Aku setuju dengan pendapatmu. Hanya saja, ku rasa kau tak perlu bersedih seperti itu. Malahan, sebaliknya sekarang ini kita harus merasa bahagia dan bangga. Karena ternyata pengorbanan kita akan tugas yang kita emban selama ini, berdampak baik bagi kesehatan majikan kita. Usaha kita, walaupun hanya 120 hari saja tetapi mendatangkan manfaat yang besar bagi kehidupan majikan kita bukan hanya sekarang tapi juga di masa yang akan datang. Yah, aku berani berkata begitu karena ada buktinya. Majikan kita ini, selalu kelihatan segar dan sehat setiap harinya. Bukan seperti isterinya yang saban hari tampak pucat dan lesu karena kehadiran teman-teman kita untuknya terlampau kurang dari normal. Tetapi, menurutku salah wanita itu juga. Dia yang tak pernah mengundang teman-teman kita. Dia tidak mau makan makanan yang berserat dan yang mengandung vitamin B. Akhirnya, teman-teman kita malas kan untuk datang padanya. Oiya, kembali ke masalah semula, yaitu sekarang kau tak usah bersedih hati lagi. Mari sama-sama kita menyambut ajal itu dengan hati yang gembira dan syukur.” Jelas si eritrosit tua panjang-lebar. Membuat sahabatnya menjadi sangat berkesan dan terharu.
“Aku bangga mempunyai sahabat sepertimu. Disaat-saat menjelang kematianmupun, kau masih memberikan kata-kata penguatan untukku. Terima kasih banyak, sahabat.” Ujar sang sahabat tulus. “Ohya, apa kau pernah mengalami hal-hal sulit selama kau jalani tugasmu ini?” lanjut sang sahabat memberikan pertanyaan. Si eritrosit tua tampak menerawang jauh, memikirkan jawaban yang akan dikeluarkannya.
“Ya! Aku pernah mengalaminya. Waktu itu, ketika aku sedang menjalankan tugas sehari-hariku, yaitu mengangkut oksigen, sambil melewati jembatan kapiler, tiba-tiba saja musuh kita datang menyerang. Kalau aku tak salah ingat, namanya adalah Patogen. Aku sangat terkejut dengan kehadirannya tersebut. Bayangkan saja, dia menyerangku, bahkan hendak membunuhku. Syukurlah, aku cepat-cepat mengeluarkan senjata andalan kita, yaitu radikal bebas yang terdapat dalam hemoglobin. Dan berhasil. Patogenpun tewas seketika. Itulah ceritaku yang sangat berkesan. Apa kau pernah mengalami hal yang sama?” Eritrosit tua bertanya balik kepada sahabatnya. Namun, belum sempat sahabatnya itu menjawab, ‘ajal’ yang mereka perbincangkan tadi datang dan menelannya. Eritrosit tuapun menangis dan berkata lirih pada dirinya sendiri “Inilah waktuku. Dia sudah datang!”
Yah, ajal yang mereka perbincangkan – yang semula ditakutkan oleh sang sahabat dari si eritrosit tua - itu bernama Fagositosis berasal dari daerah Hati dan Limpa. Dimana, di dalam daerah Hati nanti, tubuh – terutama senjata andalan mereka, yaitu hemoglobin para eritrosit tua akan diolah menjadi sesuatu yang bernama bilirubin. Walaupun begitu, para eritrosit tua bukan mati dan hilang begitu saja, namun mereka masih juga memberikan satu-satunya harta yang tersisa dari mereka, yaitu suatu zat yang bernama zat besi. Zat tersebut sangat berharga, karena akan digunakan untuk membentuk eritrosit yang baru.
Para eritrosit tua yang dahulu berwarna merah, yang menandakan keberanian mereka melawan para musuh, kini berubah warna menjadi hijau. Warna sendu yang mengambarkan kesedihan mereka. Sungguh malang nasib para eritrosit yang setia itu dalam masa hidupnya yang sangat singkat!
Suatu pagi, di suatu rumah yang bernama sumsum tulang merah, berlangsung suatu acara meriah yang biasa disebut Eritropoiesis. Acara yang selalu berlangsung setiap 120 hari sekali ini sangat berkesan. Karena, di acara inilah dibentuk para eritrosit muda yang siap menjalankan tugas mereka dan siap menggantikan para eritrosit tua yang sudah tak mampu lagi mengerjakan tugas mereka.
Acara Eritropoiesispun dimulai. Di dalam suatu kamar khusus, sang peracik eritrosit, yang bernama Pluripoten sudah bersiap-siap dengan segala alatnya. Tidak lupa dibantu oleh sang asisten yang bernama Hormon Eritropoietin. Alat dan bahan yang diperlukan pun sudah tersedia dengan apik. Merekapun mulai menjalankan tugas berat ini.
“Ayo, kita mulai sekarang! Jangan sekali-kali berbuat kesalahan! Bisa berdampak buruk bagi kehidupan majikan kita. Siap??!” Tanya Pluripoten. Dan dibalas anggukan oleh sang asisten.
Merekapun mulai meracik bahan yang ada dengan menggunakan alat-alat yang tersedia. Pertama-tama, mereka meracik bahan-bahan yang tersedia, dengan tidak lupa menambahkan zat besi yang didapat dari para eritrosit yang sudah tua dan mati. Hasil racikan pertama ini disebut Proeritroblas. Dengan menggunakan rangsangan yang sesuai, maka akan terbentuk lagi sel-sel baru yang dinamakan Basofil Eritroblas. Sel-sel ini masih memiliki sedikit sekali hemoglobin.
Pada tahap berikutnya, terbentuklah sel-sel baru yang cukup hemoglobinnya dan dinamakan Polikromatofil Eritroblas. Sesudah terjadi reaksi berikutnya, maka akan terbentuklah sel-sel baru yang mengandung lebih banyak hemoglobin dan dinamakan Ortokromatik Eritroblas, dimana warnanya telah berubah menjadi merah.
“Boss, selanjutnya bagaimana kita tahu bahwa sel-sel ini nantinya akan berubah menjadi retikulosit?” Tanya sang asisten di tengah-tengah tugas mereka. “Pertanyaan yang bagus! Kita bisa mengetahui bahwa sel ini telah berkembang menjadi retikulosit adalah dengan melihat sitoplasmanya. Jika sitoplasmanya sudah dipenuhi oleh hemoglobin, sehingga mencapai konsentrasi lebih kurang 34%, nukleus akan memadat sampai ukurannya menjadi lebih kecil dan terdorong dari sel. Nah! Sel-sel inilah yang akan disebut retikulosit. Paham?!” Jelas Pluripoten panjang-lebar. Sang asistespun mengangguk kuat-kuat tanda mengerti.
Pada tahap akhir, retikulosit tadi kemudian berkembang menjadi eritrosit dalam satu sampai dua hari setelah dilepaskan dari rumah sumsum tulang merah. Dan para eritrosit muda inipun bersiap-siap menjalankan tugas mereka selama 120 hari ke depan. Bertarung hidup dan mati demi mengabdikan diri kepada sang majikan!
“Eh, mengapa tubuh kalian para eritrosit harus berwarna merah sih? Mengapa tak bening saja kayak kita para leukosit? Memangnya, beda kalian sama kita itu apaan sih?” Tanya sebuah leukosit kepada sebuah eritrosit, ketika si eritrosit sedang menjalankan tugasnya. Si eritrositpun menghentikan sebentar pekerjaannya dan menjawab “Itu karena para eritrosit memiliki suatu zat yang ada di dalam tubuh yang disebut hemoglobin. Nah! Hemoglobin inilah yang memberikan warna merah pada kulit kita. Selain itu, hemoglobin ini juga yang menyebabkan kita para eritrosit mempunyai pekerjaan penting setiap harinya yaitu mengangkut gas oksigen dan karbon dioksida demi kesehatan majikan kita. Kurang-lebihnya, seperti itulah yang dapat aku jelasin. Selanjutnya, kamu kan bisa sendiri membandingkan dengan kalian para leukosit. Iya nggak?!” Jelas si eritrosit.
“Oh, jadi gitu ya? Emm, aku ngerti sekarang! Makanya pekerjaan kalian itu beda sama kita, ternyata karena hemoglobin itu ya?! Kalau gitu, terima kasih ya, eritrosit. Aku pergi dulu. Aku mau menyelesaikan pekerjaanku. Kamu juga, selamat bekerja ya…” Ujar si leukosit sambil berlalu pergi kembali ke tempatnya.
“Oke…. Sampai jumpa nanti ya… Kamu juga selamat bekerja... Semoga kita semua bisa bekerja sama dengan baik untuk kesehatan majikan kita ini ya…. Dagh…. Dagh…. Kalau ada sesuatu yang mengganjal, tanyakan saja padaku… aku siap membantu!” si eritrosit berseru. Dia sangat senang bisa memberikan penjelasan tentang dirinya bahkan komunitasnya kepada orang yang memang membutuhkan penjelasan, seperti si leukosit tadi. Si eritrosit tadi sangat bahagia.
Setelah memberikan salam perpisahan tadi, si eritrositpun melanjutkan tugasnya kembali. Bekerja sambil bersenandung riang. Tak peduli seberat apapun pekerjaan yang sedang dilaluinya. Ia yakin, bahwa pengorbanannya ini dia lakukan demi kesehatan majikannya. Tak peduli berapa lama lagi waktu yang akan dihabiskannya. Entah itu hanya lima hari, dua hari, bahkan satu hari lagi, ia tak akan peduli. Yang terpenting, selama masa hidupnya yang singkat, yaitu hanya 120 hari saja, ia telah memberikan suatu dampak yang baik bagi majikannya.
Dan bila nanti saatnya akan tiba pula, ia tak peduli. Ia akan terus merasa bahagia seperti sekarang ini dan menyambut ajal bernama Fagositosis itu dengan hati yang ikhlas dan tanpa penyesalan. Bahkan tidak dengan rasa sakit dan sedih sedikitpun. Mungkin, itulah tekad yang ada dalam dirinya sekarang. Sebuah eritrosit yang menjalankan tugas beratnya dalam waktu hidupnya yang singkat, 120 hari saja!
Langganan:
Postingan (Atom)